

Berikut adalah beberapa riwayat tentang bagaimana para sahabat mempelajari Al-Qur’an.
Pertama: Mempelajari iman sebelum Al-Qur’an
Para sahabat lebih dahulu mempelajari keimanan dari Rasulullah ﷺ sebelum mempelajari Al-Qur’an. Dengan begitu, ketika Rasulullah ﷺ menyampaikan ayat kepada mereka, telah terbangun konteks dan konsep yang terkandung di dalam ayat tersebut sehingga ayat-ayat Al-Qur’an berperan sebagai penguat keimanan para sahabat.
Sebagaimana diriwayatkan dari Jundub bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
كنَّا معَ النَّبيِّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ ونحنُ فتيانٌ حزاورةٌ فتعلَّمنا الإيمانَ قبلَ أن نتعلَّمَ القرآنَ ثمَّ تعلَّمنا القرآنَ فازددنا بِه إيمانًا
“Dahulu kami bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan saat itu kami masih remaja. Kami mempelajari iman sebelum mempelajari Al-Qur’an. Lalu, kami mempelajari Al-Qur’an sehingga iman kami pun bertambah.” (Sahih Ibnu Majah, no. 52, disahihkan oleh Al-Albani)
Kedua: Mempelajarinya secara perlahan
Metode selanjutnya adalah mempelajari Al-Qur’an secara perlahan. Sebab, Al-Qur’an adalah kalam yang sarat makna. Semakin direnungi dan dipelajari, semakin tersingkap ilmu dan hikmah yang terkandung di dalamnya. Berbeda dengan mayoritas buku-buku modern yang poin-poin intinya sebenarnya dapat diringkas menjadi buku tipis saja. Adapun Al-Qur’an, redaksi ayatnya pendek, tetapi bisa dijelaskan menjadi berjilid-jilid buku sehingga perlu dipelajari perlahan dan tidak terburu-buru berganti ayat. Salah seorang tabiin, Abu Abdirrahman, berkata,
حَدَّثَنا مَن كان يُقرِئُنا مِن أصْحابِ النَّبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، أنَّهم كانوا يَقتَرِئونَ مِن رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ عَشْرَ آياتٍ، فلا يَأخُذونَ في العَشْرِ الأُخرى حتى يَعلَموا ما في هذه مِن العِلْمِ والعَمَلِ، قالوا: فعَلِمْنا العِلْمَ والعَمَلَ.
“Para sahabat Nabi ﷺ yang mengajarkan kami Al-Qur’an berkata bahwa mereka dahulu mempelajari sepuluh ayat dari Rasulullah ﷺ. Mereka tidak menambah sepuluh ayat lainnya sampai mereka memahami ilmu dan amalan dari ayat-ayat tersebut. Mereka berkata, ‘Kami pun memahami dan mengamalkan (ayat tersebut).’” (HR. Ahmad no. 23482)
Ketiga: Mengamalkan ilmu yang telah diperoleh
Poin utama menuntut ilmu adalah mengamalkannya dan seseorang akan ditanya pada hari kiamat tentang amalan apa yang ia lakukan dengan ilmu tersebut. Semangat menerapkan ilmu ditunjukkan salah satunya oleh salah seorang sahabat, Adi bin Hatim, radhiyallahu ‘anhu. Beliau begitu semangat menerapkan ayat-ayat Al-Qur’an, meskipun keliru dalam memahami maksudnya. Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhu berkata,
لَمَّا نَزَلَتْ (حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ) عَمَدْتُ إِلَى عِقَالٍ أَسْوَدَ وَإِلَى عِقَالٍ أَبْيَضَ، فَجَعَلْتُهُمَا تَحْتَ وِسَادَتِي، فَجَعَلْتُ أَنْظُرُ فِي اللَّيْلِ، فَلاَ يَسْتَبِينُ لِي، فَغَدَوْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَذَكَرْتُ لَهُ ذَلِكَ فَقَالَ ” إِنَّمَا ذَلِكَ سَوَادُ اللَّيْلِ وَبَيَاضُ النَّهَارِ”
“Saat ayat, ‘Makan dan minumlah hingga jelas bagimu perbedaan antara benang putih dan benang hitam’ turun, aku pun mengambil dua benang, hitam dan putih, lalu kusimpan di bawah bantal. Kemudian aku memandanginya semalam suntuk tetapi tidak menemukan apapun. Keesokan harinya, aku pergi menghadap Rasulullah ﷺ dan menceritakan hal itu. Beliau pun menjelaskan, ‘Ayat tersebut maknanya hitamnya malam dan putihnya matahari terbit.’” (HR. Bukhari no.1916)
Meski apa yang beliau lakukan keliru, tetapi semangatnya dalam mengamalkan ilmu patut ditiru. Semangat itulah yang membuat Al-Qur’an begitu dekat di hati para sahabat. Mereka betul-betul merasakan bahwa tiap huruf dan kata di dalam Al-Qur’an adalah kalam Allah. Dengan begitu, Al-Qur’an benar-benar menjadi sumber petunjuk, pengingat, dan penambah iman seorang muslim.
Referensi:
Disarikan dari kajian Syarah Al-Minhaj min Mirats An-Nubuwwah pada bab Talaqqi Al-Qur’an ‘ala Minhaj An-Nubuwwah.